- Back to Home »
- ISLAMI »
- Standar Perbuatan
Posted by : Unknown
Selasa, 13 Mei 2014
Sebagian besar manusia menjalani kehidupannya tanpa berlandaskan pegangan
(petunjuk). Mereka melakukan berbagai perbuatan dengan tidak berdasarkan pada
tolok ukur tertentu sehingga mereka dapat memberikan penilaian terhadapnya. Oleh
karena itu sering kita jumpai mereka melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang
mereka sangka sebagai perbuatan terpuji, atau sebaliknya mereka meninggalkan
perbuatan-perbuatan baik, karena menyangkanya sebagai perbuatan tercela.
Sebagai misal, Seorang wanita muslimah yang keluar rumah dan berkeliaran di
kota-kota metropolitan negeri-negeri Islam, seperti Beirut, Damaskus, Kairo atau
Baghdad, dengan enaknya ia berjalan sambil menampakkan 'keindahan' dan
kecantikannya. Wanita ini menyangka bahwa tindakannya itu sebagai sesuatu yang
baik, sesuai dengan zaman. Demikian pula seorang tokoh Islam yang alim, wara' dan
rajin sekali mendatangi masjid-masjid, tetapi dia menolak membicarakan hal-hal yang
menyangkut tingkah laku penguasa yang rusak (tidak Islami) dengan alasan bahwa hal
itu termasuk urusan politik. Sedangkan terlibat dalam urusan politik, menurutnya,
adalah termasuk dalam perbuatan yang buruk.
Sesungguhnya wanita tadi juga 'tokoh kita' ini, dua-duanya telah terjerumus
dalam perbuatan dosa. Mengapa? Karena wanita itu telah mempertontonkan auratnya,
dan 'tokoh kita' ini tidak mau menperhatikan urusan kaum muslimin. Keadaan ini
terjadi, karena kedua-duanya tidak memiliki tolok ukur bagi amal perbuatan mereka.
Padahal jika mereka memilikinya tentu tidak akan dijumpai perbuatan yang
bertentangan dengan mabda (ideologi Islam) yang secara nyata telah mereka ikrarkan.
Oleh karena itu adanya tolok ukur yang berfungsi menilai setiap perbuatan, adalah
suatu keharusan bagi setiap manusia, sehingga ia akan mengetahui hakekat suatu
perbuatan sebelum mengerjakannya.
Dan Islam telah menetapkan bagi manusia suatu tolok ukur untuk menilai
segala sesuatu, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang terpuji yang harus
segera dilakukan dan mana perbuatan tercela yang harus segera ditinggalkan. Tolok
ukur itu tidak lain adalah syara'. Sehingga apabila syara' menilai perbuatan itu terpuji,
maka itulah yang terpuji, dan apabila syara' menilainya tercela maka itulah yang tercela.
Tolok ukur ini bersifat abadi, karenanya perbuatan yang terpuji seperti jujur, menepati
janji, berbakti pada orang tua tidak akan berubah menjadi perbuatan tercela, dan
sebaliknya sesuatu yang tercela tidak akan berubah menjadi sesuatu yang terpuji.
Bahkan apa yang dinyatakan terpuji oleh syara' akan terpuji selamanya, begitu pula apa
yang dicela oleh syara', selamanya akan tetap tercela.
Dengan demikian manusia akan dapat berjalan (di muka bumi ini) di atas jalan
yang lurus. Setiap perbuatan yang dilakukannya, senantiasa berdasarkan petunjuk
sehingga ia mengetahui hakekat segala sesuatu (perbuatan). Berbeda halnya bila syara'
tidak menetapkan ukuran baik dan buruk untuk tiap-tiap perkara, kemudian akal
dijadikan sebagai tolok ukur maka akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian. Sebab
suatu perkara bisa saja dianggap terpuji pada suatu keadaan, tapi tercela pada keadaan
yang lain. Akal manusia kadangkala memuji suatu perbuatan di masa sekarang, tapi
esok hari dicelanya. Atau suatu perbuatan dipandang terpuji di satu negeri tetapi di
negeri lain dicela. Maka hukum atas segala sesuatu menjadi tidak jelas dan berubahubah
seperti tiupan angin, sehingga pujian dan celaan adalah sesuatu yang nisbi, bukan
lagi hakiki. Pada saat seperti ini seseorang dapat terjerumus dalam perbuatan tercela,
tetapi menyangkanya sebagai perbuatan yang terpuji. Atau ia akan menjauhkan diri
dari perbuatan terpuji karena menyangkanya sebagai perbuatan yang tercela.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang menjadikan hukum-hukum syara'
sebagai tolok ukur atas semua perbuatannya dengan memuji atau mencela sesuatu
hanya berdasarkan syara' semata.
wallahualam bishawab
semoga bermanfaat :)
Sumber : Fikrul Islam